Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2012

'Ganti Hati' nya Dahlan Iskan


Siapa yang tidak kenal Pak Dahlan Iskan? Seorang wartawan yang menjadi CEO Jawa Pos, yang lalu diangkat menjadi Dirut PLN lalu menjadi Menteri BUMN? Seorang sosok yang brilian, yang mampu menakhodai "kapal"  yang hampir karam, sehingga menuju kejayaannya? Baru tadi pagi membaca berita beliau mengamuk di pintu tol (link di sini), kemaren baca di koran beliau ga segan naik motor ke bandara di Bandung. Sebelumnya, beliau juga naik kereta api ekonomi, yang kemudian beberapa pembesar juga ikut-ikutan berusaha "tampak" down to earth, but unfortunately, ga berhasil. Bisa kelihatan kok, mana pemimpin yang benar-benar bersahaja dengan yang pura-pura. Good job, Chief!! 

Kembali ke buku. Hari Minggu kemaren baru sempet ke Gramedia. Karna ada buku yang mau dicari sekalian mau beli buku 'Ganti Hati' dan '2 Tangis, Ribuan Tawa' nya Pak Dahlan. Sudah lama pingin beli, cuma baru kesampaian kemaren itu.


Setelah dibaca, kesan saya : AMAZING! Ga nyesel. Gaya bahasanya, tutur katanya ringan, mengalir, diselingi joke-joke yang bikin ngakak tapi juga bisa direnungi. Yang bikin seneng juga, ada foto-fotonya, jadi pembaca bisa tau 'Oh, ini tho liver yang kena sirosis dan kanker' , 'Oh, ini tho yang namanya Prof. Shao' , dll. 


Buku ini menceritakan tentang masa-masa pak Dahlan sebelum transplantasi liver, pas operasi dan saat pemulihan. Pendeskripsiannya bagus, seakan-akan pembaca ikut ada di sana. Karena disinggung juga beberapa nama obat, dan kebetulan saya juga berlatar belakang farmasi, langsung terbayang fisik obatnya. Seperti octreotide, yang terbayang satu nama merek, penyimpanannya dimana, 1 kotak isi berapa. Atau saat disebutkan Three Lumen CVP, langsung kebayang bentuk barangnya. Waktu pak Dahlan mendeskripsikan sesaat setelah sadar dari dibius, saya juga langsung terbayang waktu terakhir saya dibius total. Mirip. 


Ada beberapa hal menarik yang saya ambil setelah membaca buku ini:
1. Betapa manusia sering menomorduakan kesehatan. Saat muda, mengorbankan kesehatan demi kekayaan, saat tua mengorbankan kekayaan demi kesehatan. Pak Dahlan termasuk yang beruntung karena diberi kesempatan kedua oleh Allah SWT. Beliau tidak menyia-nyiakan hal itu dan terus mengoptimalkan usahanya untuk kesejahteraan orang banyak. Talk less, do more.
2. Pada saat Cak Nur meninggal, ada sebagian orang yang menganggap bahwa beliau dimurkai Allah karena wajahnya menghitam. Padahal belum tentu. Orang yang terkena sirosis atau kanker hati memang cenderung menghitam wajahnya. Dan pak Dahlan meluruskan masalah ini.
3.Menuntut ilmu bisa dilakukan dimana saja. Selama menunggu jadwal transplantasi, tiap hari pak Dahlan les bahasa Mandarin : 2 jam pagi, 2 jam siang, 2 jam sore. Beliau juga tidak segan bertanya kepada dokter-dokter dan Profesor-profesor yang merawatnya. Dan ini membuat niat saya untuk mendalami ilmu lebih kuat. Malu dong, sama yang lebih tua #blush#.
4. Di saat-saat terakhir, dimana mungkin kematian yang berdiri di depan pintu kita, hanya kepasrahan yang kita perlukan. Seperti doa Pak Dahlan sebelum masuk ruang operasi : "Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah!" Plong. Selesai. Pernah merasakan hal itu juga? Saat kita sudah pasrah, seakan jalan terbuka lebar? Tapi bukan pasrah tanpa usaha lho ya... ^___^
5. Pemimpin yang peduli kepada bawahannya, berhubungan baik dengan teman-temannya, akan selalu didoakan oleh orang-orang yang disayanginya. Tidak perlu di suap. Tidak perlu cari muka. Orang-orang bisa merasakan pancaran ketulusan. Setuju?
6.Terkadang kita juga tidak perlu 'ngoyo banget' dalam hidup. Pasang target jangka pendek yang dapat tercapai, lalu perlahan-lahan meningkat. Terus dan terus. Mengalir seperti air yang deras. Kata Pak Dahlan : "Menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal: hidupnya lebih fleksibel. Oleh karena tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanan menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi kalau orang yang berpegang teguh pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana?" 

Seneng di Indonesia ada sosok seperti ini. Sosok yang sudah sangat langka. Melakukan langkah nyata untuk perbaikan negeri. Ga hanya bisa protes, protes, protes, apalagi sampe dendam kesumat (jadi males kalo inget tokoh pendendam ini, hiiiii...Astaghfirullah). Kalau Pak Dahlan mencalonkan diri menjadi Presiden : I'll definitely vote for you, Chief!!
  
 

Kamis, 23 Desember 2010

Resensi "Habibie&Ainun"



“karena kesuksesan yang didapat seorang suami tidak akan lepas dari dukungan dan do’a dari istrinya”..


Kalau Shah Jehan yang seorang maharaja membangun Taj Mahal untuk mengabadikan cintanya kepada sang istri Mumtaz Mahal, maka Pak Habibie melakukannya kepada Bu Ainun dengan cara lain, yaitu menulis buku.


Dalam buku ini, dikisahkan bagaimana Pak Habibie dan Bu Ainun bertemu, kisah pacaran mereka yang singkat dan kemudian menikah. Selanjutnya diceritakan pula episode-episode awal kehidupan pernikahan mereka, masa-masa awal yang sulit di Jerman, perjuangan Pak Habibie menyelesaikan doktoralnya, Pak Habibie bekerja, dipanggil kembali pulang ke Indonesia oleh Pak Harto, menjadi menteri, sampai Presiden. Semuanya tak lepas dari peranan Bu Ainun. Ketika Habibie mengalami masalah dan merasa segala kerja kerasnya sia-sia, Bu Ainun yang memberikan motivasi dan saran sehingga permasalahan Pak Habibie selesai. Karena Bu Ainun adalah ilham bagi Pak Habibie, maka anak pertama mereka diberi nama Ilham.


Setelah anak kedua mereka lahir, Bu Ainun meminta izin untuk bekerja kembali sebagai dokter anak kepada Pak Habibie, dan beliau pun mengizinkan. Tetapi pada saat anak mereka sakit parah, Bu Ainun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga penuh. Beliau merasa bersalah karena mengobati anak orang lain, tetapi anak sendiri tidak dirawat. Walau menjadi ibu rumah tangga, Bu Ainun tetap mengikuti perkembangan karier Pak Habibie, sehingga bisa terus memberi masukan. Apalagi saat sudah kembali ke Indonesia, Habibie diangkat menjadi menteri dan ketua berbagai yayasan sosial, pekerjaan Ainun menjadi semakin banyak. Namun demikian, mereka tetap selalu bersama. Dimana ada Habibie, di situ ada Ainun. Tetapi akhirnya, maut juga yang memisahkan mereka. Habibie terus mendampingi Ainun di rumah sakit selama 2 bulan, dan Ainun meninggal dengan Habibie yang terus berada di sampingnya.


Dari yang dapat saya tangkap di buku ini, betapa Habibie sangat mencintai Ainun, yang selama 48 tahun 10 hari selalu mendampinginya. Walaupun Ainun sudah meninggal, tetapi tatapan mata dan senyuman Ainun selalu terbayang dan dirindukan oleh Habibie. Pasangan ini bisa menjadi contoh, bahwa kesetiaan dan kesabaran serta keteguhan dalam berumah tangga memang sangat diperlukan. Kebersamaan dalam menjalani hidup baik masa senang maupun sulit, komitmen yang dipegang teguh, bisa menjadi acuan bagi pasangan-pasangan saat ini yang digempur dengan pemberitaan ketidakharmonisan rumah tangga public figure yang ditayangkan media hampir setiap hari. Bahwa seorang wanita yang pintar seperti ibu Ainun pun, rela meninggalkan profesinya secara professional demi mendampingi keluarganya. Karena, menjadi ibu rumah tangga tidak akan mengurangi kepintaran dan nilai seorang wanita.


Mungkin karena Habibie seorang ilmuan, professor dan mantan presiden, buku ini agak terlihat seperti laporan. Rinci dan memasukkan pemikiran Habibie tentang ilmu pesawat terbang (yang saya agak tidak mengerti ;P), perkembangan IPTEK dan SDM di Indonesia . Menurut saya, kalau ditambahkan foto di setiap bab perjalanan hidupnya, buku ini bisa lebih hidup. Walaupun begitu, buku ini tetap bisa bikin saya menangis, apalagi di bagian-bagian akhirnya.


Ingin sekali mendapatkan suami yang sangat mencinta seperti Habibie. Ingin sekali menjadi istri yang selalu mendukung dan menjadi ilham bagi suami seperti Ainun.
Semoga.


Judul Buku : Habibie&Ainun
Penulis : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit : PT. THC Mandiri

Kamis, 01 April 2010

Resensi “Senandung Cinta Dari Rumah Kayu”



Di tengah maraknya buku yang terbit dengan tema “dodol-dodolan”, buku ini bisa menjadi salah satu penyegar. Sama-sama berasal dari tulisan di blog, tapi catatan-catatan yang mengalirkan cerita sangat inspiratif dan berbahasa sederhana. Settingnya merupakan keluarga kecil, sepasang suami istri, Dee dan Kuti dan anak mereka, Pradipta. Gaya bertutur ceritanya kadang dari pihak pertama (baik Dee, Kuti atau Pradipta) maupun pihak ketiga. Tema yang diangkat pun beragam, ada keluarga, cinta, pergaulan, hukum, relasi suami istri dan anak, bahkan tentang kesehatan juga ada.
Buku ini dibagi menjadi 5 bab, Pintu, Jendela, Atap, Dapur, Kamar. Cerita-ceritanya disesuaikan dengan judul bab, misalnya cerita Tumis Bunga dan Daun Pepaya ada di bab Dapur, cerita Anak Laki-Laki dan Perempuan Sama Saja, Tapi… ada di bab Kamar (dari 2 bab itu, bisa ketebak ga, temanya apa? Hehehe…), cerita Kami Berdua Mencintaimu, Anakku ada di bab Atap (mungkin bab ini maksudnya lebih menekankan pada cinta orangtua-anak ya..). Nah, kalau cerita-cerita di bab Pintu dan Jendela lebih banyak dan beragam daripada 3 bab lainnya. Mungkin Pintu dan Jendela dianalogikan sebagai sarana keluar dan masuknya ilmu serta pandangan terhadap suatu hal.
Membaca buku ini, membuat saya berfikir, “oh, begitu ya..”, “nanti kalau punya suami, begini ah..”, “nanti kalau punya anak, begini ah..”, “iya juga ya..”, “pingin punya suami yang kaya gini..”, “so sweet..” , dll deh.. Kecampur-campur lah emosi pas baca buku ini. Bisa membuat kita berfikir, terharu, maupun tertawa tanpa menjadi “dodol”. Recommended by Dina deh… ^___^
Judul Buku : Senandung Cinta Dari Rumah Kayu
Penulis : Dee dan Kuti
Penerbit : Daunilalang Publishing
Cetakan Pertama : 2010