Kamis, 23 Desember 2010

Resensi "Habibie&Ainun"



“karena kesuksesan yang didapat seorang suami tidak akan lepas dari dukungan dan do’a dari istrinya”..


Kalau Shah Jehan yang seorang maharaja membangun Taj Mahal untuk mengabadikan cintanya kepada sang istri Mumtaz Mahal, maka Pak Habibie melakukannya kepada Bu Ainun dengan cara lain, yaitu menulis buku.


Dalam buku ini, dikisahkan bagaimana Pak Habibie dan Bu Ainun bertemu, kisah pacaran mereka yang singkat dan kemudian menikah. Selanjutnya diceritakan pula episode-episode awal kehidupan pernikahan mereka, masa-masa awal yang sulit di Jerman, perjuangan Pak Habibie menyelesaikan doktoralnya, Pak Habibie bekerja, dipanggil kembali pulang ke Indonesia oleh Pak Harto, menjadi menteri, sampai Presiden. Semuanya tak lepas dari peranan Bu Ainun. Ketika Habibie mengalami masalah dan merasa segala kerja kerasnya sia-sia, Bu Ainun yang memberikan motivasi dan saran sehingga permasalahan Pak Habibie selesai. Karena Bu Ainun adalah ilham bagi Pak Habibie, maka anak pertama mereka diberi nama Ilham.


Setelah anak kedua mereka lahir, Bu Ainun meminta izin untuk bekerja kembali sebagai dokter anak kepada Pak Habibie, dan beliau pun mengizinkan. Tetapi pada saat anak mereka sakit parah, Bu Ainun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga penuh. Beliau merasa bersalah karena mengobati anak orang lain, tetapi anak sendiri tidak dirawat. Walau menjadi ibu rumah tangga, Bu Ainun tetap mengikuti perkembangan karier Pak Habibie, sehingga bisa terus memberi masukan. Apalagi saat sudah kembali ke Indonesia, Habibie diangkat menjadi menteri dan ketua berbagai yayasan sosial, pekerjaan Ainun menjadi semakin banyak. Namun demikian, mereka tetap selalu bersama. Dimana ada Habibie, di situ ada Ainun. Tetapi akhirnya, maut juga yang memisahkan mereka. Habibie terus mendampingi Ainun di rumah sakit selama 2 bulan, dan Ainun meninggal dengan Habibie yang terus berada di sampingnya.


Dari yang dapat saya tangkap di buku ini, betapa Habibie sangat mencintai Ainun, yang selama 48 tahun 10 hari selalu mendampinginya. Walaupun Ainun sudah meninggal, tetapi tatapan mata dan senyuman Ainun selalu terbayang dan dirindukan oleh Habibie. Pasangan ini bisa menjadi contoh, bahwa kesetiaan dan kesabaran serta keteguhan dalam berumah tangga memang sangat diperlukan. Kebersamaan dalam menjalani hidup baik masa senang maupun sulit, komitmen yang dipegang teguh, bisa menjadi acuan bagi pasangan-pasangan saat ini yang digempur dengan pemberitaan ketidakharmonisan rumah tangga public figure yang ditayangkan media hampir setiap hari. Bahwa seorang wanita yang pintar seperti ibu Ainun pun, rela meninggalkan profesinya secara professional demi mendampingi keluarganya. Karena, menjadi ibu rumah tangga tidak akan mengurangi kepintaran dan nilai seorang wanita.


Mungkin karena Habibie seorang ilmuan, professor dan mantan presiden, buku ini agak terlihat seperti laporan. Rinci dan memasukkan pemikiran Habibie tentang ilmu pesawat terbang (yang saya agak tidak mengerti ;P), perkembangan IPTEK dan SDM di Indonesia . Menurut saya, kalau ditambahkan foto di setiap bab perjalanan hidupnya, buku ini bisa lebih hidup. Walaupun begitu, buku ini tetap bisa bikin saya menangis, apalagi di bagian-bagian akhirnya.


Ingin sekali mendapatkan suami yang sangat mencinta seperti Habibie. Ingin sekali menjadi istri yang selalu mendukung dan menjadi ilham bagi suami seperti Ainun.
Semoga.


Judul Buku : Habibie&Ainun
Penulis : Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit : PT. THC Mandiri